Selamatkan pernikahan sebelum dimulai




Alkitab tidak mengenal prinsip jodoh atau “soulmate”, dimana Tuhan menciptakan satu orang secara khusus hanya untuk seseorang. Kitalah yang memilih siapa yang akan menjadi pasangan hidup kita, tentu harus sesuai dengan prinsip yang diajarkan Alkitab. Firman Tuhan mengajarkan prinsip, menikah sekali untuk selamanya, dan memiliki hanya satu pasangan hidup saja alias monogamy. Adam hanya memperistri Hawa sampai ajal menjemput mereka. Alkitab tidak mengajarkan kita untuk menemukan seseorang yang telah Tuhan tetapkan bagi kita, namun memberitahu bagaimana kita harus memilih pasangan hidup yang sepadan. Pelajaran khusus ini sudah dikupas di Manna Sorgawi Februari 2007. “Jodoh Yang Sesuai Kehendak Tuhan.”
MOTIVASI SALAH, MENDAPATKAN PASANGAN HIDUP YANG SALAH
Angka perceraian di Surabaya pada awal 2011 mengalami peningkatan. Januari-Februari 2011, jumlah angka perceraian sebanyak 883 kasus, lebih banyak disbanding tahun 2010, yang tercata 823 perkara. Data statistik ini menunjukkan semakin banyak orang yang tidak mau berjuang lebih keras untuk mempertahankan pernikahan mereka, yang akhirnya berujung pada perceraian. Sayangnya, perceraian yang dulu dilakoni oleh mereka yang tidak percaya pada firman Allah, kini telah merambat ke kalangan orang Kristen.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa begitu banyak pernikahan yang gagal dan berujung pada perpisahan? Mark Gungor berpendapat bahwa masalah tersebut berasal dari harapan yang dimiliki pasangan suami-istri, yaitu mengenai gambaran ideal sebuah pernikahan menurut versi mereka masing-masing yang tidak dikomunikasikan secara verbal.
Tingkat perceraian yang tinggi sampai kepada orang Kristen juga kelihatannya disebabkan karena terlalu banyak pemuda/i Kristen yang membuat kesalahan di dalam memilih pasangan dengan siapa dia akan menghabiskan sisa hidupnya; dengan siapa dia akan membangun sebuah keluarga yang harmonis, yang tetap bertahan dalam suka maupun duka. Untuk menghindari kesalahan yang fatal, perhatikanlah alasan-alasan salah yang membuat seseorang salah memilih dan menikah dengan pasangan hidup yang salah.
1.      Kita memilih orang yang salah jika berharap dapat mengubahnya menjadi pribadi yang kita inginkan setelah menikah
      Akan sangat baik jika kita menikah dengan orang yang dapat kita terima apa adanya. Pada masa pacaran kenalilah karakter, pola piker, keterampilan si dia dalam berkomunikasi, cara si dia dalam berinteraksi, apakah si dia pekerja keras atau pemalas, apakah si dia orang yang bertekad kuat atau mudah menyerah, apakah kepribadiannya terbuka [ekstrovert] atau tertutup [introvert], hobinya apa, fisiknya lemah atau kuat, dll. Setelah mengetahui hal-hal di atas, barulah kita dapat memasuki tahap yang lebih serius, tahap untuk memutuskan bersedia atau tidak menerima semuanya dengan hati yang terbuka.
      Jika ada hal-hal “buruk” di dalam diri calon pasangan kita, yang kita anggap tidak bisa kita terima karena itu sangat prinsip, sebaiknya kita berpikir ulang untuk meneruskan hubungan itu kea rah yang lebih serius. Misalnya, kita berpacaran dengan orang yang hanya Kristen KTP, sementara kita sangat aktif dalam pelayanan, sebaiknya hal ini dipikirkan ulang. Jangan berpikir bahwa setelah menikah kita bisa mengubah dia menjadi orang yang rohani, yang bersedia masuk ke dalam komunitas orang yang melayani. Pola piker ini bisa menjadi jebakan bagi kita, bahkan kelak bisa membuat kita menjauh dari Tuhan. “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” [2Kor 6:14]
      Contooh lainnya adalah kita sudah tahu bahwa pacar kita seorang pemalas tetapi karena ingin melepas status lajang, kita nekat menikah dengannya. Keputusan ini akan menjadi perangkap yang kita pasang untuk menjerat kita sendiri masuk ke dalam kesusahan yang berkepanjangan, yang seharusnya tidak kita jalani.
2.      Kita memilih orang yang salah jika lebih berfokus pada penampilan fisik, persaan dan “chemistry” daripada karakter
      Penampilan fisik yang baik berpotensi besar membuat perasaan kita tertarik terhadap seseorang, bahkan menimbulkan “chemistry” yang kuat dan itu natural. Biasanya kalau sudah demikian, perasaan akan berperan lebih dominant daripada logika. Seharusnya kita lebih mementingkan karakter daripada penampilan lahiriah. Di dalam membangun sebuah pernikahan yang kuat, kematangan karakter jauh lebih penting daripada penampilan fisik dan “chemistry”, walaupun kedua hal ini tidak bisa diabaikan.
      Keempat sifat ini bisa menunjukkan kematangan karakter seseorang.
      Kerendahan hati. Apakah si dia memiliki kerendahan hati? Kerendahan hati nyata tatkala kita masuk di dalam sebuah konflik, di mana kedua belah pihak bisa keluar dari situasi itu jika ada yang mengalah. Tidak peduli siapa yang salah atau benar, tetapi respons yang ditunjukkan akan memperlihatkan kerendahan hati calon pasangan hidup kita. Mengapa kita butuh pasangan yang rendah hati? Karena pernikahan sarat dengan masalah dan perbedaan, yang berpotensi menimbulkan konflik. Konflik antara pasangan harus diselesaikan secepatnya sedapat-dapatnya sebelum mengakhiri hari, dan ini membutuhkan kerendahan hati. Kalau tidak diselesaikan secara tuntas, konflik itu akan terakumulasi dan bisa menjadi bom waktu yang berujung pada perceraian. “Jika keangkuhan itu tiba, tiba juga cemooh, tetapi hikmat ada pada orang yang rendah hati.” [Ams 11:2]
      Baik hati. Perhatikan apakah diaorang yang suka memberikan “kesenangan” kepada orang lain? Orang yang suka membahagiakan orang lain akan membahagiakan pasangannya, sebaliknya, orang yang beruskacita tatkala membuat yang lain tertekan dan menderita akan membuat hidup pasangannya demikian. Kebaikan hati calon pasangan hidup kita bisa kita ketahui dari teman-teman atau orang yang kerap berinteraksi dengannya. “Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin.” [Ams 22:9]
      Tanggung Jawab. Karakter ini sangat penting, karena orang yang bertanggung jawablah yang dapat bertahan di dalam keadaan yang sangat sukar sekalipun. Seorang pria akan bertanggung jawab menafkahi dan melindungi keluarganya, sedangkan seorang wanita akan bertanggung jawab mengatur semua keperluan keluarganya. “Ia bangun kalau masih malam, lalu menyediakan makanan untuk seisi rumahnya, dan membagi-bagikan tugas kepada pelayan-pelayannya perempuan.” [Ams 31:15]
      Sukacita. Perhatikan apakah calon pasangan hidup kita orang yang pemurung, suka bersungut-sungut atau orang yang bersukacita. Orang yang memperlihatkan sukacita menunjukkan bahwa emosinya lebih stabil, karena orang yang bersukacita dapat menanggung beban. “Orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya, tetapi siapa akan memulihkan semangat yang patah?” [Ams 18:14]
3.      Kita memilih orang yang salah jika mengutamakan keterlibatan fisik
      Keterlibatan fisik secara langung memang diperlukan, tetapi itu nanti setelah diberkati di hadapan Tuhan dan umatNya. Pria atau wanita yang benar-benar menyayangi pasangannya tentu akan menjaga kehormatan pasangannya. Karena itu tidak perlu ada alasan “tes drive” untuk mengetahui apakah calon pasangan hidupnya “compatible” atau cocok secara fisik. Dari semua studi yang dilakukan pada perceraian, ketidakcocokan dalam area intim ini sangat kecil, bahkan hampir tidak pernah dikutip sebagai alasan utama mengapa orang bercerai. Jadi pastikan bahwa kita akan menikah dengan orang yang menghargai dan menjaga kehormatan kita sampai diberkati di depan altar, yang tidak menuntut keterlibatan fisik sebelum tiba waktunya. “Kusumpahi kamu, putrid-putri Yerusalem, demi kijang-kijang atau demi rusa-rusa betina di padang; jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya.” [Kid 3:5]
4.      Kita memilih orang yang salah jika tidak memiliki hubungan emosional yang mendalam dengan calon pasangan hidup
      Kita memilih orang yang salah menjadi pendamping hidup kita jika kita memilih seseorang yang seringkali kita merasa tidak nyaman secara emosional ketika bersamanya. Jika kita takut untuk mengungkapkan persaan, keinginan, dan pendapat secara terbuka, itu menunujukkan masih belum terjalin hubungan emosional yang sehat. Untuk menguji hal ini, tanyakan pertanyaan-pertanyaan berikut ini pada diri sendiri. Apakah saya merasa tenang, damai sejahtera, dan bisa santai dengan orang ini? Dapatkah saya sepenuhnya menjadi diri sendiri dan mengekspresikan diri ketika bersama orang ini? Apakah orang ini bisa membuat saya memandang diri saya lebih baik? Tentu sangat baik jika orang yang menikah dengan kita adalah orang yang bisa membuat merasa damai sejahtera di banyak kesempatan, walaupun sarat dengan perbedaan. Aspek lain dari hubungan emosional yang sehat adalah: tidak mencoba untuk mengontrol hidup calon pendamping kita, dan sebaliknya. Ada perbedaan besar antara “mengendalikan” dan “memberi saran”. Saran diberi untuk keuntungan atau membangun kehidupan kita, sedangkan control dilakukan untuk keuntungan si pemberi control. “Karena itu nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan. [1Tes 5:11]
5.      Kita memilih orang yang salah jika tidak saling berbagi tujuan hidup dan prioritas
      “Jodoh” adalah dua pribadi yang mampu berbagi pemahaman yang sama tentang tujuan hidup, prioritas, dan nilai-nilai hidup. Setelah menikah, idealnya kedua pribadi yang bersatu tumbuh di dalam mencapai tujuan hidup dan prioritas itu. Karena itu pada masa pacaran sangat baik jika kita mulai menyamakan tujuan dan prioritas dalam hidup, supaya di dalam menjalani pernikahan yang sarat dengan perbedaan kita dapat menyesuaikan diri sesuai dengan apa yang sudah kita diskusikan atau sepakati.
6.      Kita akan memilih orang yang salah jika ingin menikah sebagai upaya melarikan diri dari masalah pribadi dan ketidakbahagiaan
      Jika kita tidak bahagia dalam menjalani hidup di masa single/lajang, ada kemungkinan tidak akan bahagia saat menikah. Pernikahan bukan solusi untuk memperbaiki kehidupan pribadi, psikologis, atau emosional seseorang, justru memperburuk karena harus menjalani masa penyesuaian yang sarat dengan masalah dan perbedaan, yaitu perbedaan keyakinan, tujuan, nilai-nilai, gaya hidup, dsb. Perbaiki dan berbahagialah selagi kita masih lajang, maka kelak pasangan hidup kita akan berbahagia hidup bersama kita.
7.      Kita memilih orang yang salah jika ia sangat tergantung pada keluarganya
      Ada orang yang secara emosional sangat tergantung pada ayah/ibu/kakak/adik, tetapi di sisi yang lain ia ingin membangun hubungan dengan pasangan hidupnya. Memang kita tidak bisa dipisahkan dari orang tua serta saudara-saudara sedarah, tetapi ketergantungan yang berlebihan kepada mereka akan memberi akibat yang buruk dalam rumah tangga yang ingin kita bangun. Ketika Yakub menikah dengan Lea dan Rahel, kedua wanita itu melepaskan ketergantungan mereka terhadap keluarganya dan berkomitmen untuk lebih erat kepada suaminya, meskipun mereka hidup dengan orang tuanya. Jika calon pendamping hidup kita tidak mampu bersikap tegas terhadap campur tangan orang tuanya yang di luar batas, maka kelak dia akan mengalami kendala untuk mencintai kita.
MEMUTUSKAN UNTUK MEMILIH PASANGAN YANG TEPAT
Karakter adalah dasar dari setiap hubungan yang sehat. Kunci untuk memilih pasangan hidup yang tepat adalah mencari seseorang yang berkarakter baik. Karakter akan menentukan cara seseorang memperlakukan dirinya, pasangannya dan anak-anaknya. Lalu, apa yang harus kita perhatikan di dalam memilih pasangan hidup? Bagaimanakah kita mengetahui bahwa dia adalah orang yang tepat untuk dinikahi? Perhatikan 6 Kriteria di bawah ini.
1.      Komitmen terhadap pertumbuhan pribadinya
      Jika kita mampu menemukan seseorang yang memiliki komitmen terhadap pertumbuhan rohani pribadinya, berarti kita telah meraih setengah dari pernikahan yang bahagia. Komitmen terhadap pertumbuhan rohani pribadi artinya, dia berusaha hidup sesuai dengan prinsip-prinsip firman dan melakukannya. Dia juga benar-benar yakin bahwa Alkitab adalah satu-satunya sumber iman baginya. Firman akan membuatnya hidup dalam kasih, mengampuni, bisa menerima kelemahan dan kelebihan pasangan [1Yoh 4:7.12].
2.      Keterbukaan emosional
      Ada banyak pernikahan yang tidak bahagia karena salah satu pasangan memiliki latar belakang menyakitkan yang menyebabkan dia tertutup secara emosional. Jika orang tuanya tidak pernah mengatakan bahwa mereka mengasihinya, kemungkinan ia tidak mampu mengungkapkan bahwa ia mengasihi kita. Jika dia sangat terluka oleh mantan kekasihnya di masa lalu dan belum dipulihkan, akan sangat sulit baginya untuk menunjukkan perhatiannya kepada kita. Kita tidak dapat menikmati kebahagiaan jika tinggal bersama seseorang yang tidak mampu berbagi perasaan dengan orang yang dikasihinya. Karena itu kita perlu berdoa untuk mendapatkan seseorang yang sudah dipulihkan dan mampu menunjukkan kasihnya kepada semua orang.
3.      Berintegritas
      Agar suatu hubungan dapat berjalan baik, kejujuran dan sikap yang dapat dipercaya harus dibangun menjadi fondasinya. Mengetahui bahwa si dia dapat dipercaya memberi rasa aman tersendiri bagi kita. Apabila kita selalu ketakutan, jangan-jangan si dia bohong, itu akan mebuat kita menanggung kekhawatiran yang berkepanjangan. Jika kita meragukan integritasnya, maka kita akan kehilangan rasa hormat terhadapnya; kita tidak dapat mempercayai perkataan dan tindak tanduknya, dan hal ini adalah masalah. Oleh karena itu, pilihlah pasangan hidup yang berintegritas. Walaupun sulit, tanamkanlah dalam hati bahwa mendapat pasangan hidup yang berintegritas berarti mendapat harta terpendam.
4.      Memiliki citra diri yang sehat
      Apa cirri-ciri orang yang citra dirinya sehat? Ia tahu bahwa dirinya sangat berharga di dalam Kristus. Ia akan merawat dirinya dengan baik karena ia mampu mengasihinya dirinya.
5.      Bersikap positif dalam hidup
      Orang yang positif menciptakan hubungan yang positif. Orang yang negative menciptakan hubungan yang negative. Itu sebabnya menikah dengan orang yang negatif berarti memutuskan untuk hidup dalam kesukaran. “Lebih baik tinggal pada sudut sotoh rumah dari pada diam serumah dengan perempuan yang suka bertengkar.” [Ams 21:9]
6.      Ada perasaan tertarik
      Tanpa perasaan tertarik kita tidak akan pernah jatuh cinta. Mungkinkah kita memiliki pernikahan yang bahagia dengan seseorang yang tidak menarik hati kita? Rasanya tidak. Jatuh cinta dengan seorang sahabat akan menjadi pengalaman yang luar biasa dalam hidup seseorang. Survei membuktikan bahwa pasangan yang menjalin persahabatan terlebih dahulu, kemudian meningkat ke hubungan sebagai pasangan, akan mengalami pernikahan yang lebih sukses dan memuaskan.
Di atasa semuanya itu, berdoalah dengan sungguh hati sebelum kita memutuskan dengan siapa akan menikah. Doa adalah langkah pertama dan terutama yang harus diambil ketika seorang pengikut Kristus inginmemilih pasangan hidupnya. Tuhan tentu akan memberi hikmat dan tuntunan bagi orang yang mencari wajahNya dengan sungguh-sungguh. Ya, berdoalah supaya dapat memilih pasangan hidup dengan bijaksana.
Manna Sorgawi. No. 161 Tahun XIV. Agustus 2011